Nama Nabi Pertama Di Dunia
KOMPAS.com – Bangsa kolonisator adalah bangsa yang kali pertama melakukan ekspedisi dan menguasai sebuah wilayah beserta sumber dayanya.
Biasanya, bangsa kolonisator akan menargetkan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah.
Salah satu negara yang pernah dijajah oleh bangsa kolonisator adalah Indonesia.
Lantas, siapa bangsa kolonisator pertama di dunia?
Baca juga: Kapan Bangsa Portugis Sampai di Maluku?
Bangsa Kolonisator pertama di dunia adalah dua negara Eropa, yaitu Portugis dan Spanyol.
Pada masa imperialisme kuno, Portugis dan Spanyol merupakan dua kerajaan yang sudah memiliki teknologi jauh lebih canggih dibanding negara lain di Eropa.
Mereka mempunyai kekuatan armada laut, teknologi navigasi, dan perkapalan yang maju.
Sebagai negara yang kuat, Portugis dan Spanyol terus melakukan penjelajahan samudra dan kolonisasi di berbagai wilayah dunia, termasuk Indonesia.
Portugis kali pertama sampai di Indonesia pada 1512-1577, sedangkan Spanyol sampai di Indonesia pada 1521-1692.
Bangsa Portugis disebut sebagai bangsa kolonisator pertama di dunia karena mereka yang memulai dan menemukan rute pelayaran bangsa Eropa ke Asia Tenggara.
Hal ini dilatarbelakangi oleh jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada 1453, yang berdampak pada ditutupnya akses perdagangan rempah-rempah bangsa Eropa ke Kawasan Laut Tengah.
Baca juga: Dampak Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Turki Usmani
Kondisi inilah yang kemudian mendorong bangsa Portugis melakukan penjelajahan samudra ke negara lain.
Dengan didukung oleh kekuatan armada laut mereka, Portugis memulai pelayaran mereka dan menemukan rute pelayaran pertama untuk bangsa Eropa.
Oleh karena itu, Portugis disebut sebagai pelopor penjelajahan samudra.
Selain itu, Portugis adalah bangsa Eropa yang kali pertama sampai di Nusantara, tepatnya di Malaka pada 1509.
Nabi Muhammad SAW adalah keturunan bani Hasyim dari suku Quraisy. Menurut sejumlah Sirah Nabawiyah, nama Nabi Muhammad SAW berasal dari kakeknya, Abdul Muthalib.
Nama "Muhammad", sendiri berarti orang yang terpuji. Pada saat itu nama tersebut belum pernah dipakai oleh orang-orang Arab pada masa pra-Islam.
Nabi Muhammad SAW mempunyai nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushayi bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizhar bin Ma'ad bin Adnan dan selanjutnya hingga bertemu garis keturunan dari Nabi Ismail AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut disebutkan dalam buku Hidup bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam karya Daeng Naja.
Sementara itu, merujuk dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M) karya Faisal Ismail, pilihan nama Muhammad yang diberikan oleh Abdul Muthalib kepada cucu tercinta sangat tepat, cocok, dan fenomenal.
Dikisahkan dalam buku tersebut, ketika banyak orang Quraisy yang bertanya kepada Abdul Muthalib mengapa ia memberi nama cucunya Muhammad, ia menjawab "Agar cucuku menjadi orang terpuji di langit di sisi Tuhan, dan terpuji di kalangan manusia di bumi."
Sementara itu, masih dalam buku yang sama menjelaskan bahwa kaum orientalis Barat generasi awal seperti Ignaz Goldziher, Theodor Noldeke, dan G. Well yang dengan maksud tendensius mengatakan bahwa nama asli Nabi Muhammad SAW bukanlah "Muhammad" melainkan Qusam atau Qutsamah.
Namun, pendapat ini tidak dibenarkan oleh para ulama. Sebab, riwayatnya palsu dan tidak jelas, sebagaimana dikatakan dalam buku an-Nabiy Muhammad, Insaniyah al-Insan wa Nabiy al-Anbiya karya Abdul Karim al-Khathib dan diterjemahkan oleh Jamaluddin.
Dalam jurnal berjudul Kajian Morofologis Nama-Nama Nabi Muhammad dalam Al-Qur'an karya Nabilatul Ulya juga menjelaskan mengenai nama-nama lain dari Nabi Muhammad SAW. Dijelaskan bahwa sosok nabi Muhammad SAW dinyatakan dalam sejumlah sebutan. Paling tidak, ada lima sebutan sosok Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur'an, yaitu Ahmad, Muhammad, Rasul, Nabi, dan Basyar (manusia biasa).
Masing-masing sebutan tersebut mempunyai karakteristik yang dapat membedakan antara sebutan satu dengan sebutan lainnya. Meski demikian, harus diakui juga bahwa masing-masing antara sebutan tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dari lainnya, karena kelima sebutan tersebut tetap bermuara pada satu objek, yakni sosok Muhammad SAW.
Nama lain Nabi Muhammad SAW tersebut turut dijelaskan dalam sejumlah hadits. Salah satunya dari Jubair bin Muth'im RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sungguh aku mempunyai beberapa nama. Aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al-Mahi (yang menghapus) yang denganku Allah menghapus kekafiran, aku adalah Al-Hasyir (yang mengumpulkan), yang manusia dikumpulkan pada qodam-ku (masa kenabianku), aku adalah Al-'Aqib (yang paling belakangan) yang tidak ada kerasulan sesudah itu." (HR Bukhari dan Muslim)
Selain itu, dalam riwayat yang berasal dari Abu Musa Al-Asy'ari RA ia berkata, "Dahulu Rasulullah SAW memperkenalkan dirinya pada kami dengan beberapa nama. Beliau berkata:
"Aku adalah Muhammad, Ahmad, Al-Muqaffi (mengikuti nabi sebelumnya), Al-Hasyir (yang mengumpulkan), Nabiyyut taubah, dan Nabiyyur Rahmah." (HR Muslim)
Banyak para ulama yang berbeda pendapat mengenai jumlah nama-nama Nabi Muhammad SAW, Ibnu Dihyah dalam kitab karangannya, berkata: Sebagian ulama berpendapat bahwa, jumlah nama-nama Nabi SAW itu sama seperti jumlah asmaul husna.
'Athif Qosim Amin al-Maliji dalam kitabnya, Asma' Nabi Fii al-Qur'an wa as-Sunnah‛, memaparkan nama-nama nabi itu adalah Muhammad, Ahmad, 'Abdullah, al-Ummi, ar-Rahiim, al-Basyir, asy-Syaahid/asy- Syahiid, an-Nadzir, ad-Da'i ila Allah, al-Muballigh, al-Hanif, al-Mahi, Rasul al-Malahim, al-Hasyir, Nabi at-Taubah, an-Nur, as-Sirojul Munir, al-Musthofa, al-Mudatstsir, al-Muzammil, ath-Thahir, al-Muthahar, al-Muthahir, al-Mutawakkal, al-Amin, ash-Shadiq, Thaha, al-Jami', al-Wali, al-Fatih, al-Hadi, Shohibul Kautsar.
TEMPO.CO, JAKARTA - Kolonialisme atau penjajahan merupakan fenomena yang telah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa yang dapat disebut sebagai bangsa kolonisator pertama adalah bangsa yang pertama kali melakukan praktik kolonialisme dengan melakukan ekspedisi dan menguasai seluruh wilayah dengan sumber daya alamnya.
Dalam sejarah dunia, negara-negara Eropa dikenal sebagai kolonisator di berbagai negara termasuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, siapa bangsa kolonisator pertama di dunia? Untuk mengetahui jawaban, simak ulasan berikut ini, ya.
Kedatangan Portugis di Indonesia
Portugis menjadi bangsa Barat pertama yang tiba di Indonesia pada awal abad ke-16. Tujuan utama kedatangan mereka adalah untuk menguasai jalur perdagangan dan meraih keuntungan dari kekayaan rempah-rempah yang sangat bernilai.
Selain itu, bangsa Portugis juga membawa misi besar yang dikenal dengan istilah 3G, yaitu Gold (kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (agama). Misi ini mencerminkan keinginan mereka untuk tidak hanya menguasai perdagangan, tetapi juga menyebarkan agama Katolik serta mencapai kejayaan dalam politik dan ekonomi.
Pada masa itu, Indonesia dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang sangat dicari di pasar Eropa. Bangsa Portugis tertarik untuk menguasai wilayah Indonesia karena letaknya yang strategis sebagai pusat perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur dan Barat.
Melalui kedatangan mereka, Portugis berusaha mengendalikan bandar-bandar utama yang menjadi jalur perdagangan penting, seperti Ternate dan Tidore di Maluku.
Dengan demikian, bangsa Portugis merupakan kolonisator pertama yang datang ke Indonesia dan memiliki dampak besar terhadap sejarah perdagangan internasional antara Indonesia dengan dunia barat
AULIA ULVA, berkontribusi dalam artikel ini.
Kuasa Tengah Bulgaria Empayar Turki Uthmaniyyah Austria-Hungary
Perang Dunia Pertama (atau Perang Dunia I) ialah sebuah perang dunia yang berlarutan antara 28 Julai 1914 - genap sebulan setelah pembunuhan terancang Erzherzog Franz Ferdinand dari Austria dan isterinya di Sarajevo, Bosnia oleh seorang pengganas Serbia - hingga 11 November 1918.
Austria-Hungary memutuskan menghukum Serbia atas pembunuhan ketua negaranya dengan sokongan Empayar Jerman pada 28 Julai 1914. Rusia membuat penyediaan menyokong Serbia dan diserang oleh Jerman. Negara Perancis pula menyokong Rusia dan Jerman juga menyerangnya. Untuk sampai di Paris dengan secepat mungkin, tentera Jerman menyerang Belgium, sebuah negara yang berkecuali. Britain kemudian menyerang Jerman sebagai tindak balas ini.
Pada permulaannya, negara Jerman memenangi peperangan itu akan tetapi negara Perancis, Britain dan Rusia terus bertempur. Jerman, Austria-Hungary dan sekutunya digelarkan "Kuasa-kuasa Pusat" manakala negara-negara yang menentangi mereka digelarkan "Tentera Bersekutu". Sewaktu peperangan berlanjutan, negara-negara lain bercampur tangan. Hampir kesemuanya memihak dengan Tentera Bersekutu. Pada tahun 1915, Itali menyertai Tentera Bersekutu kerana ingin menguasai tanah Austria. Dan pada tahun 1917, Amerika Syarikat memasuki peperangan memihak Tentera Bersekutu.
Sungguhpun Tentera Bersekutu amat kuat, negara Jerman kelihatan hampir-hampir memenangi peperangan itu. Selepas 1914, negara Jerman menguasai Luxemborg, kebanyakan Belgium, serta sebahagian daripada Perancis utara. Negara Jerman juga menang di Barisan Timur ketika usaha Rusia tergagal. Akan tetapi menjelang 1918, tentera Jerman telah mengalami keletihan. Bekalannya tidak mencukupi dan terdapatnya pergolakan sosial di dalam negara sendiri. Pada waktu yang sama, semakin ramai tentera Amerika Syarikat baru tiba di-medan pertempuran untuk mengukuhkan Tentera Bersekutu. Pada musim panas 1918, tentera Amerika Syarikat membantu menentangi serangan Jerman yang terakhir di barat. Negara Jerman menurunkan tandatangan perjanjian gencatan senjata pada 11 November.
Di bawah Persetiaan Versailles yang ditandatangani selepas Perang Dunia Pertama, negara Jerman menyerahkan tanah-tanah jajahan dan sebahagian daripada wilayah Eropahnya. Poland diasaskan semula dan menerima Posen {sekarang digelar Poznani), sebahagian Silesia serta sebahagian Prussia Barat. Alsace dan bahagian Lorraine yang dikuasai oleh Jerman dipulangkan kepada negara Perancis. Negara Perancis juga dapat menguasai kawasan Saar selama 15 tahun. Perjanjian ini juga meletakkan Rhineland di bawah pendudukan Tentera Bersekutu selama 15 tahun. Bilangan tentera Jerman dikecilkan tidak melebihi 100,000 askar serta dilarang mempunyai tentera udara. Jerman juga perlu membayar Tentera Bersekutu pampasan perang yang sungguh besar.
Dianggarkan terdapat 8.6 juta mangsa peperangan ketika Perang Dunia I. Pihak Bersekutu kehilangan 5.1 juta orang sementara Kuasa-kuasa Pusat 3.5 juta. Peperangan tersebut mengakibatkan kemusnahan besar kepada negara-negara yang terlibat dan dikenali sebagai "peperangan untuk mengakhiri semua peperangan" sehinggalah Perang Dunia II berlaku.
Pada abad ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropah berupaya keras mempertahankan keseimbangan kekuatan di seluruh Eropah, sehingga pada tahun 1900 memunculkan jaringan aliansi politik dan ketenteraan yang kompleks di benua ini. Berawal tahun 1815 dengan Persekutuan Suci antara Prusia, Rusia, dan Austria. Kemudiannya, Kanselor Jerman Otto von Bismarck menegosiasikan Liga Tiga Kaisar (Jerman: Dreikaiserbund) antara kerajaan-kerajaan Austria-Hungary, Rusia, dan Jerman pada Oktober 1873; namun percubaan tersebut gagal atas ketidaksehaluan antara pihak-pihak Austria-Hungary dan Rusia mengenai polisi terhadap kawasan Balkan, sehingga meninggalkan Jerman dan Austria-Hungary dalam satu aliansi yang dibentuk tahun 1879 bernama Persekutuan Dua. Hal ini dipandang sebagai metode melawan pengaruh Rusia di Balkan saat Empayar Uthmaniyah terus menjadi lemah. Pada tahun 1882, aliansi ini meluas dengan penggabungan Italia lalu membentuk Pakatan Tiga Pihak menjadi Persekutuan Tiga.[2]
Setelah 1870, konflik Eropah terhindar melalui jaringan perjanjian yang direncanakan secara berhati-hati antara Kekaisaran Jerman dan seluruh Eropah yang dirancang oleh Bismarck. Beliau berupaya menahan Rusia agar tetap di pihak Jerman untuk menghindari perang dwibarisan dengan Prancis dan Rusia. Ketika Wilhelm II naik takhta sebagai Maharaja (atau Kaiser) Jerman, Bismarck terpaksa meletak jawatan dan sistem pakatannya terhapus secara beransur-ansur. Misalnya, Kaiser menolak memperbarui Perjanjian Reasuransi dengan Rusia pada tahun 1890. Dua tahun kemudian, Persekutuan Prancis-Rusia ditandatangani untuk melawan kekuatan Aliansi Tiga. Pada tahun 1904, Britania Raya menandatangani serangkaian perjanjian dengan Prancis, Entente Cordiale, dan pada 1907, Britania Raya dan Rusia menandatangani Konvensi Inggris-Rusia. Meski perjanjian ini secara formal tidak menyekutukan Britania Raya dengan Prancis atau Rusia, mereka memungkinkan Britania masuk konflik manapun yang kelak melibatkan Prancis dan Rusia, dan sistem penguncian perjanjian bilateral ini kemudian dikenal sebagai Entente Tiga.
Kekuatan industri dan ekonomi Jerman tumbuh pesat setelah penyatuan semua negeri-negeri Jerman lalu membentuk suatu empayar pada tahun 1871. Sejak pertengahan 1890-an, pemerintahan Wilhelm II memakai basis industri ini untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam jumlah besar untuk membangun Kaiserliche Marine (Angkatan Laut Kekaisaran Jerman) bentukan Laksamana Alfred von Tirpitz untuk menyaingi Tentera Laut Diraja British sebagai suatu kuasa tentera laut dunia.[3] Hasilnya, setiap negara berusaha mengalahkan negara lain dalam hal kapal modal. Dengan peluncuran HMS Dreadnought tahun 1906, Empayar British memperluas keunggulannya terhadap pesaingnya, Jerman.[3] Perlumbaan senjata antara Britania dan Jerman akhirnya meluas ke seluruh Eropah, dengan semua kekuatan besar memanfaatkan asas industri mereka untuk memproduksi perlengkapan dan senjata yang diperlukan dalam suau keadaan yang bersiap sedia saat konflik yang merangkumi seluruh benua Eropah akan tercetus.[4] Antara 1908 dan 1913, perbelanjaan ketenteraan oleh negara kuasa-kuasa besar dalam Eropah meningkat setinggi 50 persen daripada tahap mereka sebelumnya.[5]
Austria-Hungary mengawali krisis Bosnia 1908–1909 dengan mengilhak secara resmi bekas teritori Uthmaniyah di Bosnia dan Herzegovina, yang telah diduduki sejak 1878. Peristiwa ini membuat Kerajaan Serbia dan pelindungnya, Empayar Rusia yang Slav Ortodoks berang.[6] Manuver politik Rusia di kawasan ini mendestabilisasi perjanjian damai yang sudah memecah belah apa yang disebut sebagai "tong mesiu Eropah".[6]
Tahun 1912 dan 1913, Perang Balkan Pertama pecah antara Liga Balkan dan Kesultanan Uthmaniyah yang sedang retak. Perjanjian London setelah itu mengurangi luas Kesultanan Uthmaniyah dan menciptakan negara merdeka Albania, tetapi memperluaskan Bulgaria, Serbia, Montenegro dan Yunani. Ketika Bulgaria menyerbu Serbia dan Yunani pada tanggal 16 Jun 1913, negara ini kehilangan sebahagian besar Makedonia ke Serbia dan Yunani dan Dobruja Selatan ke Romania dalam Perang Balkan Kedua selama 33 hari, sehingga destabilisasi di kawasan rantau ini semakin menjadi-jadi.[7]
Pada tanggal 28 Jun 1914, Gavrilo Princip, seorang pelajar Serbia Bosnia dan anggota Pemuda Bosnia, membunuh pewaris takhta Austria-Hungary, Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria di Sarajevo, Bosnia.[8] Peristiwa ini memulakan tindakan satu bulan manuver diplomatik antara Austria-Hungary, Jerman, Rusia, Prancis, dan Britania selama, yang disebut Krisis Julai. (Julikrise). Austria-Hungary mengirimkan suatu "Ultimatum Julai" ke Serbia yang terdiri daripada sepuluh permintaan yang sengaja dibuat tidak masuk akal - namun ia jelas bertujuan memulakan perang dengan Serbia.[9] Ketika Serbia hanya menyetujui lapan dari sepuluh permintaan, Austria-Hungary mengisytiharkan perang pada tanggal 28 Julai 1914. Strachan berpendapat, "Tanggapan ragu dan awal oleh Serbia yang mampu membuat perubahan terhadap perilaku Austria-Hungary bisa diragukan. Franz Ferdinand bukan sosok yang gila popularitas, dan kematiannya tidak membuat empayar ini berduka sedalam-dalamnya".[10]
Kekaisaran Rusia, tidak ingin Austria-Hungary menghapus pengaruhnya di Balkan dan mendukung protégé lamanya Serbia, memerintahkan mobilisasi parsial sehari kemudian.[2] Kekaisaran Jerman melakukan mobilisasi tanggal 30 Julai 1914, siap menerapkan "Rencana Shlieffen" berupa invasi ke Prancis secara cepat dan massal untuk mengalahkan Angkatan Darat Prancis, kemudian pindah ke timur untuk melawan Rusia. Kabinet Prancis bergeming terhadap tekanan ketenteraan mengenai mobilisasi cepat, dan memerintahkan tentaranya mundur 10 km dari perbatasan untuk menghindari insiden apapun. Prancis baru melakukan mobilisasi pada malam tanggal 2 Agustus, ketika Jerman menyerbu Belgia dan menyerang tentara Prancis. Jerman menyatakan perang terhadap Rusia pada hari itu juga.[11] Britania Raya menyatakan perang terhadap Jerman tanggal 4 Agustus 1914, setelah "balasan tidak memuaskan" terhadap ultimatum Britania bahwa Belgia harus dibiarkan netral.[12] daijobu sio datekimi yowaimo
Negara Kolonisator Pertama
Predikat bangsa kolonisator pertama di dunia disematkan pada Bangsa Portugis. Bangsa inilah yang pertama kali melakukan ekspedisi lalu menguasai suatu wilayah negara.
Pada abad ke-15, Portugis mulai mencari jalur perdagangan baru dan berupaya untuk menemukan peradaban di luar Eropa. Perjalanan kolonialnya dimulai pada tahun 1415, ketika penjelajah Portugis berhasil menaklukkan Ceuta, sebuah kota pelabuhan strategis di Afrika Utara. Keberhasilan ini menandai awal dari kolonialisme Portugis yang bertahan hingga tahun 1999.
Tak lama setelahnya, Portugis melanjutkan ekspansi mereka dengan menaklukkan dan menetap di pulau-pulau seperti Madeira dan Tanjung Verde. Sementara itu, Spanyol, negara pesaing Portugal, juga tertarik untuk mengeksplorasi dunia luar.
Pada tahun 1492, penjelajah Christopher Columbus yang didukung oleh Spanyol, memulai pencariannya untuk menemukan rute barat menuju India dan Cina. Namun, ia malah mendarat di Kepulauan Bahama yang menjadi awal dari kolonialisme Spanyol.
Keberhasilan Spanyol dan Portugis dalam menjelajah dunia baru membuat keduanya sering terlibat dalam persaingan sengit untuk menguasai wilayah baru. Mereka berdua berlomba-lomba merebut wilayah dan mengambil alih tanah yang dihuni oleh pribumi di Amerika, India, Afrika, dan Asia.
Tak lama kemudian, negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman juga mulai membangun kolonialisme mereka di luar negeri.